Kamis, 12 November 2009

Sapi Bali

Sapi Bali


Jenis ini dinamakan sebagai “Sapi Bali” karena memang di propinsi inilah penyebaran utama sapi jenis ini. Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia, yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM di wilayah Pulau Jawa atau Bali dan Lombok. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon serta Pulau Bali yang menjadi pusat gen sapi Bali.

Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos.

Dari Pulau Bali yang dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus pusat bibit, sapi Bali menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali yaitu ke Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927, ke Lombok pada abad ke-19, ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920. Selanjutnya sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia, Philipina dan Ausatralia bagian Utara. Sapi Bali juga pernah diintroduksi ke Australia antara 1827-1849.

Populasi sapi Bali yang merupakan bangsa sapi asli Indonesia, berasal dari hasil domestikasi terus menerus banteng liar Bos sondaicus (Bos banteng). Populasinya saat ini ditaksir sekitar 526.031 ekor. Kekhawatiran akan terus menurunnya populasi sapi Bali dipicu oleh kenyataan bahwa selama krisis ekonomi, tingkat permintaan sapi lokal meningkat seiring mahalnya harga daging sapi impor. Sejumlah besar sapi Bali hidup dikirim ke beberapa kota bear di pulau Jawa menjadi sering terlihat belakangan ini. Sedikitnya 50.000 ekor sapi Bali setiap tahunnya dikapalkan ke luar propinsi Bali.

Selain sapi Bali, bangsa sapi lokal lainnya adalah sapi Grati, sapi Madura dan sapi Peranakan Ongole (keturunan hasil persilangan antara sapi Ongole jantan dan sapi betina Jawa). Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus, ciri-ciori fenotipik punduk diperoleh dari B. indicus, sedangkan warna kulit coklat atau merah bata sama dengan B. sondaicus. Dari jumlah total populasi sapi lokal sebanyak 12.000.000 ekor, 500.000 ekor merupakan tipe sapi perah dan sisanya 11.500.000 ekor tergolong tipe sapi potong. Perkiraan pertambahan populasi sebanyak 3.500.000 ekor per tahun.

Sejak lama sapi Bali sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dan mendominasi spesies sapi di Indonesia Timur. Peternak menyukai sapi Bali mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai feritiliast tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak, bereaksi positif terhadp perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 %. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari, rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara 15,48 - 16,28 bulan.

Tabel 1. Penampilan Sapi Bali dengan Pemberian Pakan Konsentrat Selama 154 Hari
(Performance of Bali Cattle Feeding with Concentrate Feed for 154 Days)

Parameter

Nilai (Value)

Rata-rata Berat Hidup (kg)
Average Live Weight (kgs)

334.7

Konsumsi Pakan Bahan Kering (kg/ekor/hari)
Dry Matter Feed Consumption (kg/head/day)

6.02

Rata-rata Laju Pertumbuhan Harian (kg/ekor/hari)
Average Daily Gain (kg/head/day)

0.66

Nisbah Konversi Pakan
Feed Convertion Ratio

9.12

Kecernaan Bahan Kering (%)
Organic Matter Digestibility (%)

86.60

Catatan : Pada penelitian di Institut Pertanian Bogor, sapi Bali dengan berat awal 250 kg dibagi dalam 2 tahap perlakuan pakan. Tahap pertama diberikan rumput selama 3 bulan, diikuti pemberian campuran rumput dan konsentrat selama 154 hari, secara nyata meningkatkan berat badan sebanyak 50 kg.

Secara fisik, sapi Bali mudah dikenali karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

  • Warna bulunya pada badannya akan berubah sesuai usia dan jenis kelaminnya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada saat masih “pedet”, bulu badannya berwarna sawo matang sampai kemerahan, setelah dewasa Sapi Bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi Bali betina. Warna bulu sapi Bali jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin sejak umur 1,5 tahun dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah menjadi coklat tua atau merah bata apabila sapi itu dikebiri, yang disebabkan pengaruh hormon testosterone
  • Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih. Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantatnya dan pada paha bagian dalam kulit berwarna putih tersebut berbentuk oval (white mirror). Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% . Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap.
  • Ukuran badan berukuran sedang dan bentuk badan memanjang.
  • Kepala agak pendek dengan dahi datar
  • Badan padat dengan dada yang dalam.
  • Tidak berpunuk dan seolah tidak bergelambir
  • Kakinya ramping, agak pendek menyerupai kaki kerbau.
  • Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) memanjang dari gumba hingga pangkal ekor.
  • Cermin hidung, kuku dan bulu ujung ekornya berwarna hitam
  • Tanduk pada sapi jantan tumbuh agak ke bagian luar kepala, sebaliknya untuk jenis sapi betina tumbuh ke bagian dalam.

Sapi Bali termasuk jenis yang disukai oleh para peternak karena dwiguna, bias sebagai sapi pekerja juga sapi pedaging, serta mempunyai banyak keunggulan seperti :

  • Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)
  • Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,
  • Dapat hidup di lahan kritis.
  • Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.
  • Persentase karkas yang tinggi.
  • Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.
  • Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana.
  • Kandungan lemak karkas rendah.
  • Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.

Dari berbagai kelebihan tersebut, Sapi Bali juga memiliki kelemahan walaupun hanya sedikit, diantaranya :

  • Dapat terserang virus Jembrana yang menyebar melalui media “lalat”.
  • Rentan terhadap Malignant Catarrhal Fever ,jika berdekatan dengan domba.

Karakter ukuran tubuh Sapi Bali :

Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Secara umum ukuran badan sapi bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu sapi Bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25-30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45-65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983)

Ukuran tubuh sapi Bali termasuk dalam kategori sedang dimana sapi Bali betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Ukuran tubuh sapi Bali juga sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan Pane (1990) dari empat lokasi berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh rataan tinggi gumba antara 122-126 cm (jantan) dan 105-114 cm (betina); panjang badan 125-142 cm (jantan) dan 117-118 cm (betina); lingkar dada 180-185 cm (jantan) dan 158-160 cm (betina). Rataan ukuran tubuh lainnya tinggi panggul 122 cm, lebar dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm

Karakteristik umum sifat-sifat reproduksi sapi Bali :

Umur dewasa kelamin rata-rata 18-24 bulan untuk betina dan 20-26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991); umur kawin pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan; beranak pertama kali 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285-286 hari (Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase beranak 70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979) selama 36 – 48 jam berahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979; Payne, 1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan (Pane, 1979). Sapi Bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), 66% dari sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi Bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7% (Sumbung et al., 1976).

Berat lahir sapi Bali untuk anak betina sebesar 15,1 kg dan 16,8 kg untuk anak jantan (Subandriyo et al., 1979) dengan kisaran 12-17 kg (Talib et al., 2003), di Malaysia sebesar 16,7 kg (Devendra et al., 1973) dan Australia sebesar 16-17 kg (Kirby, 1979). Sedangkan berat lahir sapi Bali pada pemeliharaan dengan mono kultur padi, pola tanam padi-palawija dan tegalan masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan 17,3 kg (Darmaja, 1980). Berat sapih kisaran antara 64,4-97 kg (Talib et al., 2003), untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg (Darmesta dan Darmadja, 1976); 74,4 kg di Malaysia (Devendra et al., 1973); 82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi – palawija, 87,2 kg pada tegalan (Darmadja, 1980). Berat umur setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg (Talib et al., 2003) dimana sapi betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg (Lana et al., 1979). Berat dewasa berkisar antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Sedangkan pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Subandriyo et al., 1979; Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27 kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg (Nitis, 1976); pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978).

Sapi Bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14% (Sukanten, 1991).

Sapi Bali mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan. Di Pulau Bali, sapi Bali digunakan untuk pariwisata upacara keagamaan seperti acara ”gerumbungan” atau lomba adu sapi dan upacara ”Pitra Yadnya” atau sarana pengantar roh ke surga khususnya sapi Bali yang berwarna putih

Reference :

1. D. Wahyuni. Sapi Bali di Ambang Kepunahan. Bisnis Indonesia. October 2000.

2. B.A. Murtijo. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius. 1990.

3. Tim Fokus. Perdagingan Nasional di Ujung Tanduk. Komoditas. No 07/Tahun 1.
October 1999.

4. National Research Council. 1983. Little-Konwn Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press.

5. Payne, W.J.A. and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21

6. Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences.

7. Moran, J.B. 1978. Perbandingan “performance” jenis sapi daging di Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ciawi 24-25 Juli 1978. Direktorat Jenderal Peternakan. Depatemen Pertanian. Bogor.

8. Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan, P4 dan Fapet IPB. Bogor.

9. Nitis, I.M. dan Mandrem. 1978. Korelasi antara tambahan berat badan dengan makanan yang dimakan dan dengan tabiat makan sapi Bali yang dikandangkan. Pros. Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan IPB. Bogor

10. Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Rev. Anim. Prod. 3:24-30.

11. Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang.

12. Darmadja, S. G. N. D. 1980. Half a century, traditional cattle husbandry within the agricultural ecosystem of Bali. Thesis, Universitas Pajajaran. Bandung.

13. Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali.

14. Devendra, C. T., K. C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agri. Journal 49:183-197.